Adat Sedulang Setudung

  • KATA PENGANTAR
    Alhamdulillah syukur kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan kesehatan, kesempatan, izin dan ridho-Nya sehingga Sejarah Desa Gelebak Dalam dan Nilai Filosofis Adat Sedulang Setudung dapat saya selesaikan. Solawat dan Salam kita sampaikan kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad Saw dan pengikutnya sampai akhir zaman.
    Tujuan penulisan ini adalah untuk menginformasikan data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara konseptual, faktual dan rasional serta Nilai Filosofis Adat Sedulang Setudung. Mengapa? Karena sejak dihapuskannya Marga Srikuto Parung Priyayi menjadi Dusun Glebek Dalem berdasarkan Maklumat Van Den Bosch tahun 1907 sampai sekarang (lebih kurang 112 tahun) masih terjadi polemik sejarah asal-usul dusun tersebut.
    Sebagai contoh, pada tanggal 25 – 26 November 2019, kami mengikuti Seminar Nasional yang membahas ‘Laporan Penelitian Adat Sedulang Setudung di Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan’ bertempat di Hotel Grand Zurich Padang. Dalam pembahasan hasil penelitian tersebut Sejarah Desa Gelebak Dalam masih diberi label ‘Konon, menurut hikayat yang ada’ bahwa sejarah Desa Gelebak Dalam ada dua versi.
    Dua versi Sejarah Desa Gelebak Dalam hasil penelitian tersebut saya nyatakan ‘perlu diluruskan’ karena tidak berdasarkan data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ‘konseptual, faktual dan rasional’.
    Di samping membahas Sejarah Desa Gelebak Dalam yang masih diberi label ‘Konon, menurut hikayat yang ada’, juga hasil penelitian tersebut hanya mencantumkan bahwa ‘Nilai dalam Adat Sedulang Setudung’ adalah Nilai Teologis, Nilai Sosiolgis dan Nilai Budaya.
    Pemakalah dalam menjawab pertanyaan salah seorang peserta secara ‘gentlement’ mengakui bahwa Nilai Filosofis Adat Sedulang Setudung belum tercantum dalam hasil penelitiannya. Untuk itu beliau meminta kepada ‘Nara Sumber’ untuk menjawab Nilai Filosofis Adat Sedulang Setudung.
    Secara lengkap Sejarah Desa Gelebak Dalam dan Nilai Filosofis Adat Sedulang Setudung dapat Anda baca dalam tulisan ini.
    Kepada semua pihak yang telah membantu sehingga tulisan ini sampai di tangan pembaca, saya ucapkan terima kasih.
    Saya sangat sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun inilah kemampuan yang dapat saya kerjakan. Atas segala kekurangan dan kelemahan yang dijumpai dalam tulisan ini, saya mohon maaf.
    Gelebak Dalam, 25 Desember 2019
    Penulis,
    Drs. H. Achmad Bermawi, M. Pd
    (Ki Demang Srikuto Parung Priyayi)
    2
    Daftar Isi
    KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………………………………. 1
    Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………………………….. 2
    A. Pendahuluan ……………………………………………………………………………………………………………….. 3
    B. Penelusuran Sejarah ……………………………………………………………………………………………………… 5
    C. Berdirinya Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi ……………………………………………………. 11
    D. Masa Pemerintahan Depati Srikuto Parung Priyayi ………………………………………………………….. 12
    1. Masa Pemerintahan Depati Muhammad atau Depati Mamad tahun 1795 -1825 …………. 12
    2. Masa Pemerintahan Depati Sarobudin tahun 1825 – 1860 ………………………………………… 13
    3. Masa Pemerintahan Depati Jakfar 1860 – 1895 ……………………………………………………….. 13
    4. Masa Pemerintahan Depati Abdul Hakim 1895 – 1907 ……………………………………………… 14
    E. Penghapusan Marga Srikuto Parung Priyayi dan usulan nama dusun Glebek ………………………. 14
    1. Penghapusan Marga Srikuto Parung Priyayi …………………………………………………………….. 14
    2. Usulan nama Dusun Glebek …………………………………………………………………………………… 16
    3. Proses Persetujuan Usulan nama Dusun Glebek dan Pengangkatan Kerio ……………………. 16
    F. Pindah Kabupaten Induk dan Perubahan Nomenklatur Glebek Dalem menjadi Gelebak Dalam 18
    1. Masa Pemerintahan Kerio Dusun Glebek Dalem ………………………………………………………. 18
    2. Perubahan nomenklatur Glebek Dalem menjadi Gelebak Dalam ………………………………… 20
    3. Perubahan Status dari Dusun Gelebak Dalam menjadi Desa Gelebak Dalam ………………… 20
    G. Hubungan Kesultanan Palembang Darussalam dengan Desa Gelebak Dalam ……………………… 22
    1. Mengenang Almarhum Ustadz H. Ahmad Taufik Hasnuri …………………………………………… 22
    2. Rapat Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam ………………………………… 25
    3. Pelantikan Majelis Pengurus dan Majelis Penasehat Guguk Srikuto Parung Priyayi oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin …………………………………………………………………….. 28
    Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………………………………….. 31
    Lampiran 1. Biodata Penulis…………………………………………………………………………………………………. 32
    Lampiran 2. Undangan ……………………………………………………………………………………………………….. 33
    Lampiran 3. Surat Keputusan Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam …………….. 35
    3
    SEJARAH DESA GELEBAK DALAM DAN
    MAKNA FILOSOFIS ADAT SEDULANG SETUDUNG
    OLEH
    Drs. H. ACHMAD BERMAWI, M.Pd
    (Ki Demang Srikuto Parung Priyayi)
    A. Pendahuluan
    Tanggal 25 – 26 November 2019, kami mengikuti Seminar Nasional yang membahas ‘Laporan Penelitian Adat Sedulang Setudung di Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan’ bertempat di Hotel Grand Zurich Padang. Makalah tersebut membahas tiga pertanyaan pokok penelitian yaitu:
    1. Bagaimana perjalanan historis Adat Sedulang Setudung di Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin?
    2. Bagaimana prosesi Adat Sedulang Setudung di Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin?
    3. Bagaimana nilai dan pelestarian Adat Sedulang Setudung di Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin?
    Sehari sebelum pelaksanaan seminar, kami telah mempelajari, mengkaji dan membahas makalah setebal 27 halaman double folio hasil penelitian tersebut dengan seksama. Hasilnya sebagai berikut:
    1. Hasil penelitian yang menjawab pertanyaan ‘pokok pertama’ tentang Sejarah Desa Gelebak Dalam perlu ‘diluruskan’. Mengapa? Karena hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa sejarah Desa Gelebak Dalam ada dua versi. Versi pertama ‘Gelebek’ berasal dari nama sebatang kayu ‘Blebek’. Kayu tersebut sangat besar. Besarnya digambarkan tidak terpeluk oleh lima orang dewasa. Kayu itu tumbuh di tengah-tengah dusun. Berdasarkan melihat sebatang kayu tersebut, seluruh tokoh masyarakat bersepakat mengganti nama Srikuto Parung Priyayi menjadi Gelebak Dalam. Versi kedua, kata ‘Gelebek’ berasal dari ‘alat bajak yang ditarik manusia’. Saat ditarik alat itu berbunyi ‘gelebek-gelebek’. Berdasarkan bunyi alat tersebut, seluruh tokoh masyarakat bersepakat mengganti nama Srikuto
    4
    Parung Priyayi menjadi Gelebak Dalam. Peneliti juga menjelaskan makna kata ‘Dalam’. ‘Dalam’ menunjukkan posisi dusun yang masuk ke dalam lebih kurang 2 KM dari Pangkalan Gelebak.
    2. Hasil penelitian yang menjawab pertanyaan ‘pokok ke dua’ tentang prosesi Adat Sedulang Setudung, kami sepakat walaupun di sana sini masih ada kekeliruan ketik.
    3. Hasil penelitian yang menjawab pertanyaan ‘pokok ke tiga’ tentang nilai dan pelestarian Adat Sedulang Setudung perlu kami tambahkan ‘Nilai Filosofis’. Mengapa? Karena hasil penelitian tersebut hanya mencantumkan bahwa ‘Nilai dalam Adat Sedulang Setudung’ adalah Nilai Teologis, Nilai Sosiolgis dan Nilai Budaya.
    Pada tanggal 26 November 2019 sekitar pukul 08.15, kami telah hadir di tempat seminar. Kami dipersilahkan sarapan, mengisi Daftar Hadir dan format Biodata serta menerima makalah, tas kecil, buku dan alat tulis. Tepat pukul 09.00 seminar dimulai. Kami bertiga menempati kursi sebagai ‘Nara Sumber’ yang diapit oleh Moderator dan Pemakalah.
    Moderator setelah membuka seminar langsung mempersilahkan Pemakalah untuk mempresentasikan hasil penelitiannya. Setelah presentasi, moderator membuka ruang tanya jawab. Peserta terlihat sangat antusias mengikuti seminar yang ditandai dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan. Semua pertanyaan ditujukan kepada Nara Sumber.
    Pertanyaan-pertanyaan peserta yang diajukan dalam diskusi dapat dikelompokkan menjadi:
     Masalah yang berkaitan dengan pertanyaan ‘pokok pertama’;
     Masalah yang berkaitan dengan pertanyaan ‘pokok ke dua’;
     Masalah yang berkaitan dengan tata tulis ilmiah, teknik pengutipan, dan penggunaan huruf kapital dan tata bahasa.
     Masalah yang berkaitan dengan pertanyaan ‘pokok ke tiga khususnya Nilai Filosofis Adat Sedulang Setudung.
    Untuk menjawab pertanyaan, Kades Hendri Sani membagi tugas dengan ‘catatan kecilnya’. Ustadz M. Zen Sayuni bertugas menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan prosesi Adat Sedulang Setudung. Saya kebagian untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan Sejarah Desa Gelebak Dalam dan Nilai Filosofis Adat Sedulang Setudung sedangkan beliau sendiri menjawab pertanyaan seputar pelestarian Adat Sedulang Setudung.
    5
    Alhamdulillah seminar Adat Sedulang Setudung berjalan lancar dan sukses. Pukul 10.30 WIB berarti penambahan waktu 30 menit dari jadwal seharusnya, seminar ditutup moderator dengan mengucapkan terima kasih kepada Nara Sumber, Pemakalah dan peserta.
    Setelah sampai di ‘Mess Perwira’ tempat kami bertiga menginap, “Yai tolong ditulis secara lengkap Sejarah Desa Gelebak Dalam dan hubungannya dengan Zuriyat Kesultanan Palembang Darussalam serta Nilai Filosofis Adat Sedulang Setudung.” Pinta Kades secara serius.
    Belum sempat saya menjawab, Ustadz M. Zen Sayuni ‘nimberung’ dengan mengatakan, “Memang waktu nak berangkat ke Padang ini, aku sudah mintak Kiaji nulis secara lengkap Sejarah Desa Gelebak Dalam. Jangan kito kalah dengan wong Sako.” Tegas Ustadz M. Zen Sayuni. Sayapun menganggukkan kepala tanda setuju.
    Alhamdulillah lebih kurang satu bulan permintaan Pak Kades, Ustadz M. Zen Sayuni dan warga Desa Gelebak Dalam untuk menulis Sejarah Desa Gelebak Dalam dan hubungannya dengan Zuriyat Kesultanan Palembang Darussalam serta Nilai Filosofis Adat Sedulang Setudung dapat saya selesaikan. Tulisan ini sekaligus sebagai Laporan hasil mengikuti Seminar Nasional yang membahas ‘Adat Sedulang Setudung di Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan’ pada tanggal 25 – 26 November 2019 bertempat di Hotel Grand Zurich Padang.
    Saya sangat sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun inilah kemampuan terbaik yang dapat saya kerjakan. Atas segala kekurangan dan kelemahan yang dijumpai dalam tulisan ini, saya mohon maaf.
    B. Penelusuran Sejarah
    Tujuan penelusuran sejarah Desa Gelebak Dalam yang saya lakukan bukanlah untuk saling menyalahkan atau meremehkan pendapat para tokoh masyarakat yang telah menuturkan sejarah berdasarkan informasi yang mereka terima. Bukan pula untuk mengangungkan pendapat yang dianggap benar melainkan untuk mendapatkan data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ‘konseptual, faktual dan rasional’. Saya sangat menghargai dan menghormati semua penutur sejarah yang saya sebutkan dalam penelusuran ini. Mereka semua adalah tokoh masyarakat yang saya segani dan hormati. Saya ‘mohon maaf’ kepada semua anak-cucu para penutur yang pendapatnya saya nyatakan ‘keliru atau sangat keliru’.
    6
    Sejak dihapuskannya Marga Srikuto Parung Priyayi menjadi Dusun Glebek Dalem berdasarkan Maklumat Van Den Bosch tahun 1907 sampai sekarang (lebih kurang 112 tahun) masih terjadi polemik sejarah asal-usul dusun tersebut.
    Ada lima versi sejarah Desa Gelebak Dalam yang masih hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat sampai sekarang ini yaitu :
    1. Gelebek berasal dari nama kayu ‘Gelebek atau Gelebekan atau Belebekan’.
    2. Gelebek berasal dari ‘Kebeg’ yaitu Kulak yang berisi penuh.
    3. Gelebek berasal dari ‘Glabakan’ yaitu kondisi dan situasi panik yang sangat mendalam.
    4. Gelebek berasal dari nama Teknologi Pertanian yang disebut ‘Gelebek’.
    5. Gelebek adalah ‘Visi’ atau ‘Impian’ yang hendak diwujudkan di ‘Bumi Srikuto Parung Priyayi’.
    Untuk menentukan sejarah Desa Gelebak Dalam secara ‘konseptual, faktual dan rasional’, mari kita telusuri satu persatu versi sejarah tersebut berdasarkan penuturan Tokoh-Tokoh Masyarakat sebagai berikut:
    1.1. Dr. Noor Huda dan Yanto, M. Hum, M. IP, Dosen UIN Raden Fattah Palembang pada bulan Februari 2017 telah mengadakan penelitian dan hasilnya telah diterbitkan buku dengan judul “The Secret of Art and Culture Srikuto Parung Priyayi Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin”. Bab I Historis Gelebak Dalam. A. Sejarah Desa Gelebak Dalam. Pada halaman 7 menyatakan bahwa nama Gelebak berasal dari sebatang ‘Kayu Gelebakan’ yang tumbuh di dekat Kantor Kades atau di depan Masjid Nuruddin sekarang ini. Penulis tidak mencantumkan keterangan atau penjelasan bagaimana bentuk pohon kayu Gelebakan tersebut. Selanjutnya di dekat pohon tersebut digali tanah untuk ‘diwiwiti atau disengguni dengan kulak’. Hasilnya dapat tujuh kulak kebek yang berarti barokah. Berdasarkan kejadian tersebut seluruh tokoh masyarakat bersepakat merubah nama Srikuto Parung Priyayi menjadi Gelebak Dalam. Dalam tulisan ini tidak dijelaskan makna kata ‘Dalam’.
    1.2. Dr. Yenrizal, M.SI Dosen Komunikasi UIN Raden Fattah Palembang pada tanggal 15 November 2019 menulis di laman SRIPOKU.Com dengan judul “Alm. Ust. Taufik Hasnuri dan Desa Gelebak Dalam. Dalam tulisan itu juga dijelaskan bahwa Gelebak Dalam berasal dari sebatang Kayu Glebek yang terendam cukup dalam dan ditemukan di rawang. Berdasarkan penemuan
    7
    tersebut seluruh tokoh masyarakat bersepakat mengganti nama Srikuto Parung Priyayi menjadi Gelebak Dalam.
    1.3. Hariadi, dkk. Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, Padang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada tanggal 3-4 Juli 2019 telah mengadakan penelitian ‘Adat Sedulang Setudung’ di Desa Gelebak Dalam. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam makalah ‘Laporan Penelitian Adat Sedulang Setudung di Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan’. Tanggal 26 November 2019, makalah tersebut telah diseminarkan secara nasional bertempat di Hotel Grand Zurich Padang. Pada Bab Pembahasannya, peneliti menulis ada dua versi sejarah Desa Gelebak Dalam. Versi pertama ‘Gelebek’ berasal dari nama sebatang kayu ‘Blebek’. Kayu tersebut sangat besar. Besarnya digambarkan tidak terpeluk oleh lima orang dewasa. Kayu itu tumbuh di tengah-tengah dusun. Berdasarkan melihat sebatang kayu tersebut, seluruh tokoh masyarakat bersepakat mengganti nama Srikuto Parung Priyayi menjadi Gelebek Dalem. Versi kedua, kata ‘Gelebek’ berasal dari ‘alat bajak yang ditarik manusia’. Saat ditarik alat itu berbunyi ‘gelebek-gelebek’. Berdasarkan bunyi alat tersebut, seluruh tokoh masyarakat bersepakat mengganti nama Srikuto Parung Priyayi menjadi Gelebak Dalam. Peneliti juga menjelaskan makna kata ‘Dalam’. ‘Dalam’ menunjukkan posisi dusun yang masuk ke dalam lebih kurang 2 KM dari Pangkalan Gelebak.
    1.4. Masih ada empat penuturan tokoh masyarakat yang menjelaskan bahwa ‘Gelebek’ berasal dari nama kayu. Namun tidak perlu kita bahas dalam penelusuran ini.
    2. Gelebek berasal dari ‘Kebeg’ yaitu Kulak yang berisi penuh. Menurut Penutur bahwa lokasi Dusun Parung yang terletak di pinggir Sungai Komering atau di pinggir Sungai Parung (Sungai Dusun) akan dipindahkan ke lokasi baru. Hasil musyawarah tokoh-tokoh masyarakat dari tujuh rompok (dusun) terpilihlah lokasi yang strategis yaitu di Desa Gelebak Dalam sekarang ini. Lalu digali tanah untuk ‘diwiwiti atau disengguni dengan kulak’. Hasilnya dapat tujuh kulak ‘kebek’ yang berarti barokah. Berdasarkan hasil ‘wiwitan atau senggunian dengan tujuh kulak kebek’ tersebut, maka seluruh tokoh masyarakat bersepakat mengganti nama Srikuto Parung
    8
    Priyayi menjadi Gelebak Dalam. Penutur H. Samiun (Alm) salah seorang Tokoh Masyarakat.
    Di samping itu masih ada empat tokoh masyarakat yang menuturkan Gelebek berasal dari ‘Kebeg’ yaitu Kulak yang berisi penuh. Dalam penelusuran ini tidak dibahas.
    3. Gelebek berasal dari ‘Glabakan’ yaitu kondisi dan situasi panik yang dialami oleh Depati Abdul Hakim ketika penghapusan Marga Srikuto Parung Priyayi dan pencopotan jabatannya sebagai Depati. Pada awal Agustus 1971, Bupati Abdullah Awam beserta rombongan berkunjung ke Dusun Gelebak Dalam. Pada waktu istirahat makan siang, Bupati bertanya kepada Kerio Madan, “ Namek Reti Kerie Gelebak Dalam ikak?” Kerio Madan dengan penuh semangat memberikan penjelasan bahwa Gelebak berasal dari ‘Glabakan’ yaitu kondisi dan situasi panik yang dialami oleh Depati Abdul Hakim ketika penghapusan Marga Srikuto Parung Priyayi dan pencopotan jabatannya sebagai Depati. Karena situasi ‘gelabakan’ tersebut, Depati Abdul Hakim memutuskan mengganti nama Srikuto Parung Priyayi menjadi Gelebak Dalam. Mendengar jawaban Kerio Madan tersebut, Bupati tidak berkomentar dan mengalihkan pertanyaan berapa luas lahan pertanian yang ada di Dusun Gelebak Dalam.
    Badaruddin Cikwi sebagai Tokoh Masyarakat membela pendapat Kerio Madan dan mengkampanyekannya bahwa Dusun Gelebak Dalam berasal dari ‘gelabakan’ atau situasi panik yang sangat mendalam.
    4. Pada awal Januari 2006, Ketua Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam meminta Kades Junaidi Sabtu untuk menulis sejarah Zuriyat Srikuto Parung Priyayi yang ada di Desa Gelebak Dalam. Atas dasar permintaan tersebut, Kades Junaidi Sabtu menghubungi dan meminta kesediaan Rofai Rojudin, S.P, Janudin Badaruddin dan Muhammad Zen Sayuni mengutip ‘Loyang Tembago’ atau ‘Sejarah Depati Srikuto Parung Priyayi’ yang dimiliki Janudin Badaruddin bertuliskan Arab Melayu. Penulisan sejarah berlangsung selama lebih kurang enam bulan dan selesai tanggal 1 Juli 2006 dalam bentuk makalah. Makalah tersebut berjudul “Sejarah Singkat Kesultanan Palembang Darussalam dan Hubungannya Dengan Zuriyat yang ada di Desa Gelebak Dalam”. Dalam makalah tertulis pada halaman 8, Gelebek berasal dari nama Teknologi Tepat Guna Bidang
    9
    Pertanian yang disebut ‘Gelebek’. Seminggu kemudian makalah tersebut diserahkan kepada Ketua Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam untuk bahan kajian ‘Hubungan kesejarahan pada Kesultanan Palembang Darussalam dan daerah-daerah pendukungnya dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan’. Pada waktu penyerahan makalah, Kades Junaidi Sabtu meminta pihak Kesultanan untuk menjelaskan asal usul Gelebak Dalam berdasarkan kajian sejarah yang ada. Pada hari Rabu, 20 Desember 2006 tepat pukul 20.00 WIB dimulai Rapat Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam bertempat di Griya Keraton jalan Torpedo No. 74 Palembang. Rapat membahas ‘Hubungan kesejarahan pada Kesultanan Palembang Darussalam dengan Zuriyat Srikuto Parung Priyayi yang ada di Desa Gelebak Dalam’. Rapat tersebut dipimpin oleh R. H. Djohan Hanafiah. Dari pihak Kesultanan dihadiri oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, R. H. Djohan Hanafiah Ketua Majelis Adat Keraton lengkap dengan anggotanya dan di pihak Zuriyat Srikuto Parung Priyayi yang ada di Desa Gelebak Dalam dihadiri oleh Enam belas Utusan yang dipimpin oleh Kades Junaidi Sabtu. Pada Pembukaan Rapat R. H. Djohan Hanafiah (Fakar Sejarah Sumatera Selatan) menjelaskan bahwa berdasarkan hasil kajian sejarah antara Gelebek Dalem-Srikuto Parung Priyayi dengan Kesultanan Palembang Darussalam masih satu tarikan nafas sejarah. Selanjutnya beliau menjelaskan ‘Gelebek’ secara ‘harfiah’ berarti alat atau ‘teknologi untuk meratakan dan melumpurkan tanah yang ditarik kerbau’ sesuai dengan apa yang tertulis dalam makalah yang kami terima. Secara terminologi ‘Gelebek’ adalah ‘Visi’ atau ‘Impian’ yang bermakna ‘Menjadikan Bumi Srikuto Parung Priyayi sebagai lahan pertanian yang subur dan teratur dengan menggunakan teknologi mutakhir’. Visi ‘Gelebek’ yang disampaikan Depati Abdul Hakim ke Pemerintah Belanda tahun 1907 sangat mendukung ‘Program Politik Etis/Politik Balas Budi’ yang sedang giat-giatnya dijalankan Belanda. Kita sama maklum bahwa permulaan Abad ke-20, Belanda menjalankan Program ‘3Si’ yaitu Edukasi (Pendidikan), Transmigrasi dan Irigasi (Pembangunan Pertanian). Beliau juga menjelaskan makna kata ‘Dalem’. ‘Dalem’ berarti ‘Wong Keraton’ atau ‘Pegawai Keraton’. Selanjutnya Rapat membahas ‘guguk’ yang ada di Srikuto Parung Priyayi.
    10
    Hasil penelusuran sebagai berikut :
    1. ‘Gelebek’ adalah ‘Visi’ atau ‘Impian’ yang bermakna ‘Menjadikan Bumi Srikuto Parung Priyayi sebagai lahan pertanian yang subur dan teratur dengan menggunakan teknologi mutakhir’. Inilah sejarah (asal-usul) Desa Gelebak Dalam yang dapat dipertanggungjawabkan secara ‘konseptual, faktual dan rasional’. Fakta menunjukkan bahwa pada tahun 2019 :
    1.1. Pembukaan lahan pertanian dengan menggunakan teknologi atau pembukaan lahan tanpa membakar;
    1.2. Penggemburan tanah menggunakan teknologi atau traktor;
    1.3. Penyemprotan hama dengan menggunakan teknologi;
    1.4. Penanaman padi dengan menggunakan teknologi;
    1.5. Pemupukan/penyuburan tanaman dengan menggunakan teknologi;
    1.6. Panen dengan menggunakan teknologi;
    1.7. Sungai Tilan dibendung untuk pengairan/irigasi. Pengaturan dan distribusi air menggunakan teknologi.
    2. Gelebek berasal dari nama kayu ‘Gelebek atau Gelebekan atau Belebekan’ adalah sejarah versi Belanda. Fakta menunjukkan bahwa kayu ‘gelebek’ adalah kayu hayalan dan tidak pernah tumbuh di Desa Gelebak Dalam. Kayu tersebut bikinan Belanda untuk menutup sejarah Zuriyat Srikuto Parung Priyayi. Fakta ini disampaikan oleh Hj. Hayuya Binti Agung bahwa sejarah Gelebek berasal dari nama kayu ‘Gelebek’ berdasarkan perintah dari Belanda kepada Depati Abdul Hakim untuk disampaikan kepada seluruh Tokoh Masyarakat. Tujuan Belanda di samping untuk menutup dan menghapus sejarah, juga memberi pesan kepada Zuriyat Srikuto Parung Priyayi bahwa leluhur kita berpikir kurang rasional dan emosional. Hal ini terkesan dari tindakan Depati Abdul Hakim yang pulang dari Rapat Marga di Sirah Pulau Padang dan melihat sebatang kayu ‘Gelebek atau Gelebekan atau Belebekan’ lalu secara emosional mengganti nama Srikuto Parung Priyayi menjadi Gelebek Dalem.
    3. Gelebek berasal dari ‘Kebeg’ yaitu Kulak yang berisi penuh adalah keliru. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pemindahan Dusun Parung yang terletak di pinggir Sungai Komering atau di pinggir Sungai Parung (Sungai Dusun) dan tujuh dusun lainnya ke lokasi baru di Desa Gelebak Dalam sekarang ini atas prakarsa Depati Sarobudin. Di lokasi baru yang terpilih, lalu digali tanah untuk ‘diwiwiti atau disengguni dengan kulak’. Hasilnya dapat tujuh kulak ‘kebek’ yang berarti barokah. Pemindahan berlangsung lebih kurang lima belas tahun dimulai pada
    11
    tahun 1835 dan selesai pada tahun 1850. Mengapa kita katakan keliru? Karena 57 tahun kemudian yaitu tahun 1907, dusun ini masih tetap bernama Srikuto Parung Priyayi dan belum bernama Gelebek Dalem.
    4. Gelebek berasal dari ‘Glabakan’ yaitu kondisi dan situasi panik yang sangat mendalam adalah sangat keliru. Kata ‘Glabakan’ tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata tersebut digunakan oleh muda mudi pada tahun 1970an untuk menunjukkan situasi/pengalaman yang kurang menyenangkan. Penggunaan kata ‘glabakan’ semusim dengan penggunaan kata ‘tako’an’. Kata ‘glabakan’ ini tidak ada hubungannya dengan kata ‘gelebek’ yang diusulkan oleh Depati Abdul Hakim kepada Belanda sebagai nama dusun tahun 1907.
    5. Gelebek berasal dari nama Teknologi Pertanian yang disebut ‘Gelebek’ dapat diterima dan logis. Hal ini sudah dijelaskan oleh R. H. Djohan Hanafiah bahwa ‘Gelebek’ secara ‘harfiah’ berarti alat atau ‘teknologi untuk meratakan dan melumpurkan tanah yang ditarik kerbau’. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa seratus tahun lebih pertanian di Desa Gelebak belum pernah petani menggunakan ‘bajak yang ditarik kerbau’ untuk mengolah tanah.
    Kesimpulan : ‘Gelebek’ adalah ‘Visi’ atau ‘Impian’ yang bermakna ‘Menjadikan Bumi Srikuto Parung Priyayi sebagai lahan pertanian yang subur dan teratur dengan menggunakan teknologi mutakhir’. Visi tersebut dipaparkan Depati Abdul Hakim di Depan Rapat Marga Onder Updeling Sirah Pulau Padang pada Hari Senin, 7 Juli 1907 yang dipimpin Conteler Van Den Bosch. Sedangkan kata ‘Dalem’ berarti Wong Keraton atau Pegawai Keraton’.
    Selanjutnya akan diuraikan sejarah ringkas Berdirinya Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi sampai perubahan nomenklatur Desa Gelebak Dalam dan hubungannya dengan Zuriyat Kesultanan Palembang Darussalam.
    C. Berdirinya Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi
    Menurut catatan sejarah yang dinamakan ‘Loyang Tembago’ ( Asal-usul Keturunan Nenek Moyang penduduk Srikuto Parung Priyayi) yang ditulis oleh salah seorang zuriyat Depati Parung bernama Sapidin bin Mubin bin Sarobudin bahwa berdirinya Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi pada tahun 1795 Masehi. Berdirinya Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi ini atas restu
    12
    Sultan Muhammad Bahauddin yang memerintah tahun 1778 sampai dengan tahun 1805. Pusat pemerintahan terletak di dataran Sungai Parung lebih kurang tiga KM dari Desa Gelebak Dalam sekarang ini yang dikenal dengan sebutan Dusun Parung. Untuk pertama kali yang direstui Sultan Muhammad Bahauddin menjadi Kepala Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi adalah Kemas Muhammad dengan sebutan Depati Muhammad. Masyarakat mengenal beliau dengan sebutan Depati Mamad.
    Misi strategis yang diembankan Sultan Muhammad Bahauddin kepada Depati Mamad adalah untuk mengamankan jalur ekonomi di wilayah sungai dan laut antara Palembang, Plaju, sungai Gerong dan Sungai Komering dari gangguan keamanan para perompak dan bajak laut. Karena pada saat itu jalur ekonomi antara Palembang dan daerah Uluan dilakukan melalui transportasi air.
    Apa makna Srikuto Parung Priyayi?
    R. Djohan Hanafiah, Ketua Majelis Adat dan Budaya Keraton Kesultanan Palembang Darussalam memberikan arti dan makna kata-kata tersebut sebagai berikut:
     Srikuto bermakna pagar gaib.
     Parung bermakna Kesatria/Pendekar/Petarung/Jawara (untuk orangnya) dan
     Parung juga bermakna daerah perbukitan dan lembah yang subur.
     Priyayi bermakna kelas bangsawan /golongan ningrat.
    D. Masa Pemerintahan Depati Srikuto Parung Priyayi
    1. Masa Pemerintahan Depati Muhammad atau Depati Mamad tahun 1795 -1825
    Depati Mamad adalah Kepala Pemerintahan Marga Parung yang pertama. Beliau adalah anak dari Kemas Leman dan ibunya Saimah. Memerintah selama 30 tahun. Mulai tahun 1795 sampai dengan tahun 1825. Kondisi masyarakat pada waktu itu masih terpencar di beberapa lokasi seperti: Talang Batu, Sungai Parung, Dusun, Rimbo, Pak Rumbu, Pak Remusim, Kedidul, selumuk, Hemburuk, dll.
    Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda yaitu tahun 1825 dan Sultan
    13
    Mahmud Badaruddin II beserta keluarganya diasingkan ke Ternate Provinsi Maluku.
    Pusat Pemerintahannya berada di Dusun Parung. Tahun 1830 Beliau wafat dan dimakamkan di Dusun Parung.
    2. Masa Pemerintahan Depati Sarobudin tahun 1825 – 1860
    Depati Sarobudin adalah Kepala Pemerintahan Marga Parung yang ke dua. Beliau menggantikan ayahnya Depati Mamad memerintah Marga Srikuto Parung Priyayi selama 35 tahun. Pada masa pemerintahannya ada beberapa kegiatan pembangunan yang dilakukannya antara lain:
     Memindahkan lokasi pusat pemerintahan marga dari Dusun Parung yang terletak di pinggir sungai ke lokasi baru yang sangat strategis dari segi keamanan yaitu di Desa Gelebak Dalam sekarang ini. Lokasi ini tetap disebut Dusun Parung.
     Menyatukan penduduk yang terpencar-pencar dari beberapa lokasi seperti: Talang Batu, Sungai Parung, Dusun, Rimbo, Pak Rumbu, Pak Remusim, Kedidul, Selumuk, Hemburuk, dll. untuk mendiami satu lokasi baru yaitu Desa Gelebak Dalam sekarang ini.
     Menetapkan batas Marga Parung Priyayi sebagai berikut :
     Sebelah Utara : Kota Palembang adalah ujung Sungai Aur, Lebak Berayun, Talang Putri, Plaju, dan Rengas Tunjang dengan Sungai Rengas.
     Sebelah Selatan : Marga Jejawi adalah Sungai Parung Negara atau Sungai Merbo sekarang.
     Sebelah Timur : Marga Teluk Tenggirik Duren Ijo.
     Sebelah Barat : Sungai Komering, Sungai Pedu sampai ke Talang Peramuan Bukit Siayak.
    Depati Sarobudin dikenal dengan Panggilan Buyut Ketot sakti Mandraguna. Beliau juga ikut menyelesaikan Perang Pasemah 1856. Makam beliau di Tanah Pekuburan Simpang Balang.
    3. Masa Pemerintahan Depati Jakfar 1860 – 1895
    Depati Jakfar atau Depati Japut atau Depati Tebing adalah Kepala Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi yang ke tiga. Beliau menggantikan ayahnya Depati Sarobudin dan memerintah selama 35 tahun. Depati Jakfar meneruskan kebijakan yang telah dijalankan oleh Depati Sarobudin. Beliau terkenal dengan ilmu pengobatan/perdukunan dan ilmu kebatinan. Makam beliau di Tebing yaitu pekuburan Desa Pangkalan Gelebak.
    14
    4. Masa Pemerintahan Depati Abdul Hakim 1895 – 1907
    Depati Abdul Hakim adalah Kepala Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi yang ke empat atau yang terakhir. Beliau menggantikan Saudara Iparnya Depati Jakfar dan memerintah selama 12 tahun. Depati Abdul Hakim meneruskan kebijakan yang telah dijalankan oleh Depati Jakfar. Pada hari Senin tanggal 7 Juli 1907, berdasarkan hasil rapat Marga Onder Updeling Sirah Pulau Padang, Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi dihapuskan oleh Pemerintahan Belanda karena sudah tidak memenuhi persyaratan penduduk 1.200 jiwa.
    E. Penghapusan Marga Srikuto Parung Priyayi dan usulan nama dusun Glebek
    1. Penghapusan Marga Srikuto Parung Priyayi
    Berdasarkan hasil rapat Marga Onder Updeling Sirah Pulau Padang yang dipimpin langsung oleh Conteler Van Den Bosch diambil keputusan (maklumat) antara lain:
     Pemerintahan Marga yang penduduknya kurang dari 1.200 jiwa dihapus dan diturunkan statusnya menjadi pemerintahan dusun dengan kepala pemerintahannya disebut Kerio dan bergabung dengan marga yang definitif.
     Nomenkelatur Jabatan Kepala Pemerintahan Marga berubah yang semula ‘Depati’ menjadi ‘Pasirah’.
     Kerio dibantu oleh seorang atau lebih Penggawo yang membawahi lingkungan dalam dusun tersebut.
     Kepala Pemerintahan Dusun yang berada di ibukota marga disebut Pembarap.
     Nama dusun yang digunakan sesuai dengan nama marga sebelum dihapuskan, kecuali nama dusun yang tidak sesuai dengan potensi wilayah harus diusulkan kembali untuk pengesahannya.
     Jabatan Depati Kepala Pemerintahan Marga dinyatakan demisioner sampai dengan ditunjuknya Kerio Kepala Pemerintahan Dusun yang definitif.
     Mantan Depati yang masih bersedia untuk diangkat menjadi Kerio segera mendaftarkan diri melalui Pasirah yang definitif dan bagi yang tidak bersedia harus mengajukan calon Kerio untuk dusunnya.
    15
    Berdasarkan Maklumat tersebut Marga Srikuto Parung Priyayi yang penduduknya kurang dari 1.200 jiwa berubah status menjadi Dusun dan nama Srikuto Parung Priyayi tidak boleh digunakan karena dianggap tidak sesuai dengan potensi wilayah dan harus bergabung dengan Marga Rambutan. Dampaknya sejak 1 April 1907:
     Depati Abdul Hakim dicopot jabatannya dari Kepala Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi dan dinyatakan demisioner sampai terpilihnya Kerio sebagai Kepala Pemerintahan Dusun;
     Menyerahkan wilayah Marga Srikuto Parung Priyayi yang sangat luas berdasarkan tapal batas yang dibuat Depati Sarobudin kepada Pasirah Marga Rambutan yang definitif ‘dikurangi’ dengan wilayah ‘Dusun Parung’ secara ‘de fakto’.
    Kepala Pemerintahan Marga Rambutan yang definitif berdasarkan maklumat tersebut disebut ‘Pasirah’ dan Kepala Pemerintahan Dusun Rambutan sebagai ibukota Marga disebut Pembarap.
    Pada waktu itu Depati Abdul Hakim tetap mengusulkan nama Dusun ‘Srikuto Parung Priyayi’ dalam perubahan status ternyata ditolak langsung oleh Kepala Bagian Pemerintahan Afdeling Kayu Agung. Ada tiga alasan penolakan nama Dusun Srikuto Parung Priyayi :
     Nama tersebut tidak sesuai dengan potensi yang ada di wilayah dusun tersebut.
     Parung Priyayi yang berarti Kesatria golongan ningrat ada hubungan erat dengan Kesultanan Palembang Darussalam. Sedangkan Kesultanan Palembang Darussalam telah dihapuskan oleh Pemerintahan Belanda pada tahun 1825 karena memberontak. Sultan Mahmud Badaruddin II telah ditangkap dan diasingkan Belanda ke Ternate. Oleh sebab itulah nama Parung Priyayi tidak boleh digunakan lagi.
     Secara tersirat nama tersebut ditakuti oleh Belanda. Mengapa? Karena nama tersebut dapat mengingatkan kejayaan warga Parung di masa lalu. Sebagaimana diketahui bahwa Depati Sarobuddin ikut menyelesaikan Perang Pasemah 1856.
    Atas dasar penolakan tersebut, Depati Abdul Hakim diperintahkan oleh Kepala Bagian Pemerintahan Afdeling Kayu Agung untuk segera mengusulkan nama dusun yang sesuai dengan potensi wilayah dan nama calon kerio sebagai kepala pemerintahan dusun paling lambat tiga bulan terhitung maklumat dikeluarkan oleh Conteler Van den Bosch.
    16
    2. Usulan nama Dusun Glebek
    Untuk memenuhi instruksi dari Kepala Bagian Pemerintahan Afdeling Kayu Agung agar segera mengusulkan nama dusun yang sesuai dengan potensi wilayah dan nama calon kerio sebagai kepala pemerintahan dusun, Depati Abdul Hakim segera mengadakan rapat staf dengan para tokoh masyarakat untuk meminta masukan. Rapat tersebut memutuskan dan menyerahkan kepada Depati Abdul Hakim untuk menentukan nama dusun yang diminta Belanda.
    Tiga hari sebelum menghadiri rapat Marga Onder Updeling Sirah Pulau Padang, Depati Abdul Hakim mengadakan rapat staf terakhir dengan para tokoh masyarakat untuk meminta masukan dan persetujuan usulan nama dusun dan calon kerio.
    Dalam rapat tersebut Depati Abdul Hakim memaparkan nama dusun yang akan diusulkan yaitu ‘glebek’. Selanjutnya beliau tegaskan bahwa mengapa nama glebek yang dipilih sebagai pengganti nama Srikuto Parung Priyayi? ‘Glebek’ sangat sesuai dengan potensi dusun yaitu pertanian. Pertanian yang dicita-citakan adalah Pertanian yang subur, teratur dengan pengairan irigasi dan menggunakan teknologi. Nama tersebut didapatkannya berdasarkan ‘Kepinton’ atau ‘wangsit’. Nama ‘glebek’ adalah nama yang barokah dalam mewujudkan ‘Gemah Rifah Loh Jinawi. Toto Tenterem Kerto Raharjo di Bumi Srikuto Parung Priyayi.
    Perlu diketahui bahwa sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Desa Gelebak Dalam sedang terjadi reformasi dalam bidang pertanian. Masyarakat yang sebelumnya menggunakan sistem pertanian yang berpindah-pindah, sekarang beralih kepada sistem pertanian bersawah. Para petani sedang giat-giatnya mencetak sawah pasang surut di beberapa lokasi seperti pencetakan sawah di Sungai Kumpe, di Sungai Bungin, di Sungai Tilan dan di beberapa lokasi lainnya.
    Rapat secara aklamasi menyetujui apa yang diusulkan oleh Depati Abdul Hakim yaitu :
     Nama Glebek sebagai pengganti nama dusun Srikuto Parung Priyayi dan
     Mursid (kemenakan Depati Abdul Hakim) sebagai calon Kerio yang mengepalai pemerintahan dusun sebagai pengganti Depati.
    3. Proses Persetujuan Usulan nama Dusun Glebek dan Pengangkatan Kerio
    Usulan nama Dusun Glebek dan Calon Kerio Mursid disampaikan kepada Kepala Bagian Pemerintahan Afdeling Kayu Agung dalam Rapat Marga Onder
    17
    Updeling Sirah Pulau Padang pada hari Senin, 7 Juli 1907 tepat pukul delapan pagi.
    Tim verifikasi menolak nama dusun yang diusulkan karena dianggap ‘aneh’ dan Depati Abdul Hakim dikeluarkan dari ruang rapat sebagai hukuman karena tidak dapat menuliskan nama dusun yang diusulkan. Depati Abdul Hakim dipermalukan Belanda karena ‘Buta Huruf’ yaitu tidak dapat membaca dan menulis. Belanda hanya tahu bahwa Depati Abdul Hakim Buta Huruf dan dianggap bodoh. Tetapi Belanda tidak tahu dibalik itu, beliau dianugerahi kecerdasan yang luar biasa. Di samping kecerdasan intelektual, Depati Abdul Hakim dianugerahi juga kecerdasan spiritual yang mampu membaca keadaan seratus tahun yang akan datang.
    Sekitar pukul satu siang dan acara pembagian ‘besluit’ sudah selesai, Depati Abdul Hakim dipanggil lagi keruang rapat untuk mengklarifikasi usulan nama dusun yang disampaikannya pada pukul delapan pagi dan sekarang harus menyampaikan langsung paparan di depan Conteler Van Den Bosch.
    Sebelum menyampaikan paparan, Tim verifikasi mengajukan persyaratan harus dapat menjawab lima pertanyaan pokok tentang usulan nama ‘glebek’ sebagai nama dusun. Apabila lima pertanyaan pokok tersebut tidak dapat dijawab dengan baik, maka akan ditolak dan paparan pun akan dibatalkan.
    Alhamdulillah Depati Abdul Hakim di samping dapat menjawab semua pertanyaan dengan baik dan dapat meyakinkan juga dapat meyampaikan paparan di depan Conteler Van Den Bosch secara rasional. ‘Glebek’ adalah pembangunan pertanian dengan menggunakan teknologi. Conteler Van Den Bosch terkesan dengan jawaban dan penjelasan Depati Abdul Hakim tersebut. Karena gagasan Depati Abdul Hakim sangat mendukung kebijakan Belanda dalam pembangunan bidang pertanian.
    Conteler Van Den Bosch melalui Tim verifikasi menyetujui usulan nama dusun ‘Glebek’ yang berarti pembangunan pertanian dengan menggunakan teknologi dan mereka menambahkan kata ‘Abdi Dalem’. Jadi Dusun Glebek Abdi Dalem. Mengapa ditambah kata ’Abdi Dalem’? Karena Dusun Glebek ini semula bernama Srikuto Parung Priyayi yang ada hubungannya dengan Kesultanan Palembang Darussalam. Kata ‘Priyayi’ tetap dihargai Belanda tetapi dengan mengganti kata tersebut dengan kata ‘Abdi Dalem’. Tim Verifikasi menegaskan bahwa sejak Senin, 7 Juli 1907 nomenklaturnya adalah ‘Glebek Dalem’ dan tercatat dalam lembaran daerah Pemerintahan Afdeling Kayu Agung.
    18
    Selanjutnya Tim verifikasi mengeluarkan ‘besluit’ pengangkatan Kerio Mursid sebagai Kepala Pemerintahan Dusun Glebek Dalem pengganti Depati Abdul Hakim yang sudah demissioner.
    Senin tanggal 7 Juli 1907, Kerio Mursid resmi menjabat Kepala Pemerintahan Dusun Glebek Dalem yang berkedudukan di dusun Pangkalan Glebek.
    F. Pindah Kabupaten Induk dan Perubahan Nomenklatur Glebek Dalem menjadi Gelebak Dalam
    1. Masa Pemerintahan Kerio Dusun Glebek Dalem
    Dusun Glebek Dalem berumur selama lebih kurang 42 tahun. Nama dusun tersebut tercatat sebagai salah satu dusun dalam Marga Rambutan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sejak tahun 1907 dan berakhir tahun 1950 setelah Belanda memberikan Pengakuan Kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
    Kepala Pemerintahan Dusun atau Kerio yang memimpin Dusun Glebek Dalem adalah:
     Kerio Mursid memerintah tahun 1907 – 1927 ( 20 Tahun). Beliau tinggal di Dusun Pangkalan Glebek yang pada masa itu dinamakan ‘Pangkalan Rembio’.
     Kerio Badri memerintah tahun 1927 – 1945 ( 18 Tahun). Beliau adik Kerio Mursid. Tinggal di Dusun Pangkalan Glebek.
     Kerio Basudin memerintah tahun 1945 – 1960 ( 15 Tahun). Beliau anak Kerio Badri dan tinggal di Pangkalan Glebek. Pangkalan Glebek adalah salah satu lingkungan dalam Dusun Glebek Dalem.
    Pada masa Kerio Basudin inilah yaitu sejak Januari 1947 sampai dengan Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 atau awal tahun 1950, hubungan antara Marga Rambutan khususnya ke ibukota Kabupaten Ogan Komering Ilir di Kayu Agung terputus total.
    Brigjen H. Asnawi Mangkualam Gubernur KDH Tk. I Provinsi Sumatera Selatan tahun 1968 – 1978 di dalam bukunya ‘Perang Kota 120 Jam Rakyat Palembang’ memberikan gambaran kesulitan khususnya Marga Rambutan yang terkena dampak daerah konflik untuk mengakses hubungan dengan Pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ilir di Kayu Agung disebabkan antara lain:
    19
     Perang lima hari lima malam di Kota Palembang (Perang Kota 120 Jam Rakyat Palembang) yang terjadi pada awal tahun 1947. Perang lima hari lima malam tersebut diakhiri dengan gencatan senjata dan mengharuskan TRI mundur 20 KM dari Palembang. Sebelum ada surat perintah resmi, pihak TRI sudah membuat analisis mundur sejauh 20 KM dari Kota Palembang berarti sampai di Simpang Rambutan. Dalam analisis jarak 20 KM dari Plaju sampai dengan Simpang Rambutan Versi TRI tersebut masih tertulis nama Pangkalan Glebek. Namun berdasarkan Surat Perintah Komandan Divisi Garuda II Kolonel Bambang Utoyo pemunduran pasukan TRI sejauh 20 KM dari Kota Palembang sampai di Dusun Batun.
     Belanda berkali-kali berkhianat terhadap Republik Indonesia:
     Perjanjian Linggarjati tanggal 25 Maret 1947 dikhianati Pemerintahan Belanda dengan melancarkan Perang Kolonial I (Agresi militer Belanda I) tanggal 21 Juli 1947. Akibat perbuatan Pemerintahan Belanda tersebut, TRI melancarkan Perang Kemerdekaan ke satu membela Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
     Perjanjian Renville tanggal 17 Februari 1948 dikhianati Pemerintahan Belanda dengan melancarkan Perang Kolonial II (Agresi militer Belanda II) tanggal 19 Desember 1948. Agresi militer Belanda yang ke dua ini berhasil menduduki Ibukota Negara Yogyakarta dapat menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Drs. M. Hatta dan mengasingkan mereka ke daerah Mentok Provinsi Bangka Belitung sekarang ini. TNI dan Rakyat Indonesia bangkit melakukan perang grilya dalam perang Kemerdekaan ke dua dengan semboyan ‘ Merdeka atau Mati’.
     Perjanjian Roem – Royen melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda, mengakui Kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS), sedangkan Republik Indonesia adalah salah satu negara yang berada dalam negara RIS. Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS dan Drs. M. Hatta terpilih sebagai Perdana Menteri RIS. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS) melebur diri menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Peristiwa nasional yang digambarkan oleh sejarah tersebut, berdampak langsung khususnya kepada Marga Rambutan yang terkena dampak daerah konflik untuk mengakses hubungan dengan Pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ilir di Kayu Agung. Sejak awal tahun 1947 tersebut sampai Agustus 1950, situasi keamanan tidak menentu dan suasana Pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ilir tidak kondusif dan belum dapat melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan baik.
    20
    Karena sulitnya akses hubungan dengan Pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ilir di Kayu Agung maka Marga Rambutan beserta seluruh dusun yang ada di wilayahnya melepaskan diri dari Kabupaten Ogan Komering Ilir dan bergabung dengan Pemerintahan Kabupaten Musi Banyuasin yang pada waktu itu memiliki Perwakilan berkantor di Palembang dekat Masjid Agung, tepatnya di lokasi Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) sekarang ini.
    2. Perubahan nomenklatur Glebek Dalem menjadi Gelebak Dalam
    Setelah resmi Marga Rambutan dan seluruh dusun yang ada di wilayahnya diterima bergabung dalam Kabupaten Musi Banyuasin, nomenklaturpun berubah. Semula tertulis Dusun Glebek Dalem dan sekarang menjadi Dusun Gelebak Dalam.
    Perubahan nomenklatur tersebut mulai berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari 1950 yaitu Dusun Gelebak Dalam Marga Rambutan Kecamatan Banyuasin I Kabupaten Musi Banyuasin.
    Basudin adalah Kerio Kepala Pemerintahan Dusun Gelebak Dalam yang pertama. Kemudian dilanjutkan oleh Kerio Kabul tahun 1960 s.d tahun 1968 dan diakhiri oleh Kerio Madan tahun 1969 s.d tahun 1982.
    Pada awal masa pemerintahan Kerio Madan, Dusun Gelebak Dalam dimekarkan menjadi dua dusun yaitu Dusun Gelebak Dalam dan Dusun Pangkalan Gelebak.
    3. Perubahan Status dari Dusun Gelebak Dalam menjadi Desa Gelebak Dalam
    Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Selatan yang memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, status dusun dinaikkan menjadi desa dan status marga dengan kepala Pemerintahannya Pasirah, status Pembarap sebagai kepala dusun di ibukota marga dan jabatan Kerio sebagai kepala dusun dihapuskan. Keputusan tersebut mulai berlaku sejak 1 Juli 1982 di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan Kepala dusun dinaikkan statusnya menjadi Kepala Desa.
    Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, maka Dusun Gelebak Dalam menjadi Desa Gelebak Dalam Kecamatan Banyuasin I Kabupaten Musi Banyuasin yang dikepalai oleh Kepala Desa.
    Madan H. Paridin yang ketika itu menjabat Kerio, berubah status menjadi Kepala Desa Gelebak Dalam yang pertama Terhitung Mulai 1 Juli 1982 s.d 1994. Beliaulah yang mempertahankan dan melestarikan ‘Adat Sedulang Setudung’ yang dapat kita nikmati sampai sekarang ini. Pada tahun 1980an, setiap Peringatan Hari-Hari Besar Islam (PHBI) sudah ada warga yang berani
    21
    membawa makanan untuk ‘sedekahan’ dengan mempergunakan ‘Rantang atau Tingkat’ yang dianggap lebih praktis. Kades Madan H. Paridin dengan tegas ‘memperingatkan dan melarang’ warga untuk membawa makanan ‘sedekahan’ dengan mempergunakan ‘Rantang atau Tingkat’ yang dianggap lebih praktis tersebut ke Masjid.
    Dalam sambutannya di tahun 1980an pada salah satu Acara ‘Adat Sedulang Setudung’, Beliau menegaskan bahwa ‘Adat Sedulang Setudung’ harus kita dipertahankan dan dilestarikan sampai kapanpun. Mengapa? Karena ‘Adat Sedulang Setudung’ memiliki ‘makna yang sangat dalam’. Sedangkan membawa makanan ‘sedekahan’ dengan mempergunakan ‘Rantang atau Tingkat’ yang dianggap lebih praktis tersebut ke Masjid tidak bermakna seperti ‘Adat Sedulang Setudung’. ‘Makna yang sangat dalam’ yang dimaksud Kades Madan H. Paridin itulah yang kita kenal dengan ‘Makna Filosofis Adat Sedulang Setudung’.
    Makna Filosofis Adat Sedulang Setudung
    1. Dulang berbentuk bulat bermakna Bumi Srikuto Parung Priyayi.
    2. Tudung bermakna Adat, Akhlak Mulia dan Adab yang menaungi seluruh aktivitas warga masyarakat di Bumi Srikuto Parung Priyayi.
    3. Sedulang Setudung dijunjung di atas kepala bermakna seluruh warga masyarakat menghormati, menghayati dan mengamalkan Adat, Akhlak Mulia dan Adab.
    4. Semua warga masyarakat duduk teratur rapi di dalam masjid menghadap Sedulang Setudung bermakna Masyarakat Toto Tenterem Kerto Raharjo (Masyarakat Demokratis, Adil dan Makmur).
    Berturut-turut Kepala Desa selanjutnya adalah A. Rifa’i S.Pd yang memerintah tahun 1996 s.d 2003 dan Junaidi Saptu yang memerintah tahun 2004 s.d 2014. Kebijakan Kades A. Rifai, S.Pd dan Kades Junaidi Saptu tetap mempertahankan dan melestarikan ‘Adat Sedulang Setudung’.
    Pada masa pemerintahan Kades Junaidi Saptu terjadi Pemekaran Kabupaten Musi Banyuasin dan Pemekaran Kecamatan Banyuasin I.
     Nomenklaturnya menjadi Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin.
     ‘Adat Sedulang Setudung’ menjadi Moto Kabupaten Banyuasin dan
     Terhubungnya sejarah Zuriyat Srikuto Parung Priyayi dengan Kesultanan Palembang Darussalam. Pada tanggal 30 Desember 2006, Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam mengangkat Kepengurusan
    22
    Guguk Srikuto Parung Priyayi yang berkedudukan di Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin dengan nomor SK: 02/SKP-KKPD/XII/2006. Pelantiakan Kepengurusan Guguk Srikuto Parung Priyayi dilakukan oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin pada tanggal 31 Desember 2006 bertempat di Masjid Nuruddin Desa Gelebak Dalam selesai pelaksanaan Sholat Idul Adha.
    Tahun 2016 s.d 2022 yang menjadi Kepala Desa adalah Hendri Sani. Beliau adalah generasi milenial yang memimpin Desa Gelebak Dalam. Kebijakan Kades Hendri Sani tetap mempertahankan dan melestarikan ‘Adat Sedulang Setudung’.
    Pada tanggal 25 – 26 November 2019, beliau menjadi Nara Sumber seminar nasional makalah ‘Laporan Penelitian Adat Sedulang Setudung di Desa Gelebak Dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan’ bertempat di Hotel Grand Zurich Padang.
    Berdasarkan fakta lapangan bahwa ‘Visi’ “Menjadikan Bumi Srikuto Parung Priyayi sebagai lahan pertanian yang subur dan teratur dengan menggunakan teknologi mutakhir” In Syaa Allah terwujud pada masa Kepemimpinan Kades Hendri Sani. Dengan Kerja Keras, Kerja Cerdas dan Kerja Ikhlas, In Syaa Allah ‘Gemah Rifah Loh Jinawi. Toto Tenterem Kerto Raharjo akan terwujud di Bumi Srikuto Parung Priyayi berdasarkan Penghayatan dan Pengamalan Adat, Akhlak Mulia dan Adab.
    G. Hubungan Kesultanan Palembang Darussalam dengan Desa Gelebak Dalam
    1. Mengenang Almarhum Ustadz H. Ahmad Taufik Hasnuri
    Ustadz H. Ahmad Taufik Hasnuri sangat besar ‘andilnya’ dalam menjalin hubungan kesejarahan antara Zuriyat Srikuto Parung Priyayi dengan Kesultanan Palembang Darussalam. Pertama kali beliau memberikan ceramah di Masjid Nuruddin pada tahun 2004 yaitu pada Acara Peringatan Isro’ dan Mikraj Nabi Besar Muhammad SAW. Ketika itu beliau masih sangat muda belia. Usianya baru menginjak 30 tahun.
    Ceramahnya dengan ‘Bahasa Palembang yang medok’ sangat memukau dan disenangi oleh Masyarakat Gelebak Dalam yang hadir ketika itu. Setelah selesai ceramah, beliau menikmati ‘Adat Sedulang Setudung’. Kebetulan beliau menghadapi dulang yang berisi ayam panggang-ketan kuning, lauk pauk dan
    23
    buah-buahan. Selama Ustadz H. Ahmad Taufik Hasnuri menikmati ‘persedekahan’, Para Tokoh Masyarakat mengajak beliau ‘Bebaso’. Ustadz H. Ahmad Taufik Hasnuri pun meladeni mereka dengan penuh keakraban.
    Beliau memiliki ‘Akhlak Mulia’ yang sangat sesuai dengan ‘Adat, Akhlak Mulia dan Adab’ yang dijunjung tinggi di Desa Gelebak Dalam secara turun temurun. Semua tokoh-tokoh masyarakat yang tua disapanya, disalaminya dengan mencium tangan sambil tersenyum. Yang muda dan sebayanya disapanya dengan hangat bagaikan teman lamanya yang jarang ketemu. Walaupaun baru pertama kali datang, Beliau telah menciptakan suasana keakraban dengan semua lapisan masyarakat dan menganggap semua warga Desa Gelebak Dalam adalah ‘dulurnyo’.
    Beliau memiliki kesan khusus terhadap warga masyarakat Desa Gelebak. Apa kesannya? Kesannya antara lain sebagai berikut:
     Pertama kali datang ke dusun atas undangan PHBI, Beliau merasa cemas dan takut. Mengapa? Mulai dari nama dusun yang dianggapnya ‘aneh’ dan pastilah warganya kurang bersahabat, sering bermain ‘magic dan racun’. Kesannya yang pertama ini diakuinya sangat keliru. Ternyata masyarakat Gelebak Dalam adalah masyarakat yang religius, ramah, sopan dan santun.
     Para Tokoh Masyarakat mengatakan, “Wong sudah teminum banyu di dusun ini, tidak kembali lagi berarti mati.” Ustadz H. Ahmad Taufik Hasnuri sangat penasaran dengan kata-kata yang terkesan sumpah serapah tersebut. Setelah mendapat penjelasan dari Para Tokoh Masyarakat, beliau sangat terkesan dengan semangat persaudaraan dan silaturahim yang dibangun di Gelebak Dalam ini. Semua orang yang sudah pernah ‘teminum banyu di dusun ini’ berarti sudah dianggap ‘dulur’.
     Komunitas yang pandai dan lancar ‘Bebaso’. Ustadz H. Ahmad Taufik Hasnuri sangat terkesan pada tahun 2004 berarti sudah 83 tahun Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan Belanda, tetapi di Desa ini masih ada komunitas yang pandai dan lancar ‘bebaso’.
    Sejak saat itu setiap ada undangan dari PHBI, In Syaa Allah Ustadz H. Ahmad Taufik Hasnuri memenuhinya. Tahun 2009 sampai tahun 2017, Beliau mengadakan pengajian rutin dua kali seminggu dengan jadwal Senin malam Selasa pukul 20.00 sampai selesai Pengajian Ilmu Tauhid bertempat di rumahnya dan Selasa siang pukul 14.00 S.d selesai Pengajian Ilmu Fiqih bertempat di Masjid Nuruddin. Santrinya sangat banyak yang datang dari
    24
    berbagai desa dan Kota Palembang. Tahun 2018 sampai meninggal dia tidak dapat melaksanakan pengajian rutin lagi karena sakit. Pada tanggal 14 November 2019 pukul 08.30 beliau berpulang ke rahmatullah. ‘Semoga Husnul Khotimah’. Sesuai dengan wasiatnya lebih kurang empat tahun yang lalu bahwa apabila meninggal dia minta dikuburkan di Desa Gelebak Dalam yaitu di lahan perkuburan yang sudah disiapkannya. Ustadz H. Ahmad Taufik Hasnuri sangat dicintai oleh masyarakat dan Umat. Hal ini terbukti pada waktu penguburan beliau sekitar pukul 16.30. Ribuan pelayat tumpah ruah di Desa Gelebak Dalam walaupun dalam keadaan gerimis. Parkir mobil dan motor memenuhi jalan antara Desa Gelebak Dalam dan Desa Sako sepanjang lebih kurang 2 KM.
    Pada awal Desember 2005, Ustadz Ahmad Taufik Hasnuri setelah memberikan ceramah pada waktu perpisahan Mahasiswa KKN UMP bertempat di rumah Pak Kades Junaidi, memberikan laporan kepada Sultan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin bahwa di Desa Gelebak Dalam ada komunitas yang lancar ‘bebaso’.
    Laporan tersebut ditanggapi Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin secara serius dan dibicarakannya dengan Ketua Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam R. H. Djohan Hanafiah. Dari hasil pembicaraan tersebut, pihak Kesultanan berkesimpulan bahwa di Desa Gelebak Dalam masih ada Zuriyat Kesultanan Palembang Darussalam.
    Pada awal Januari 2006, Ketua Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam mengirim utusan untuk meminta Kades Junaidi Sabtu menulis sejarah Zuriyat Srikuto Parung Priyayi yang ada di Desa Gelebak Dalam.
    Atas dasar permintaan tersebut, Kades Junaidi Sabtu menghubungi dan meminta kesediaan Rofai Rojudin, S.P, Janudin Badaruddin dan Muhammad Zen Sayuni mengutip ‘Loyang Tembago’ atau ‘Sejarah Zuriyat Depati Srikuto Parung Priyayi’ yang dimiliki Janudin Badaruddin bertuliskan Arab Melayu.
    Penulisan sejarah berlangsung selama lebih kurang enam bulan dan selesai tanggal 1 Juli 2006 dalam bentuk makalah. Makalah tersebut berjudul “Sejarah Singkat Kesultanan Palembang Darussalam dan Hubungannya Dengan Zuriyat yang ada di Desa Gelebak Dalam”.
    Isi makalah antara lain:
     Silsilah Raja-Raja Palembang dan masa pemerintahannya.
     Zuriat Kesultanan Palembang yang ada di Marga Srikuto Parung Priyayi
     Berdirinya Pemerintahan Marga Srikuto Parung Priyayi
     Masa Pemerintahan Depati Marga Srikuto Parung Priyayi
     Masa Pemerintahan Kerio Kepala Dusun Gelebak Dalam
    25
     Asal-usul nama Dusun Gelebak Dalam
    Seminggu kemudian makalah tersebut diserahkan kepada Ketua Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam untuk bahan kajian Hubungan kesejarahan pada Kesultanan Palembang Darussalam dan daerah-daerah pendukungnya dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan.
    Setelah lima bulan tanpa berita, awal November 2006, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin memberi tahu Kades Junaidi melalui telepon bahwa seminggu sebelum Hari Raya Idul Adha, pihak Kesultanan sudah mengagendakan Rapat Pembahasan sejarah Zuriyat Srikuto Parung Priyayi di Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam. Kades diminta membentuk Tim secara lengkap yang mewakili Zuriyat Srikuto Parung Priyayi.
    Atas dasar permintaan Sultan, Kades Junaidi membentuk Tim lengkap yang mewakili Zuriyat Srikuto Parung Priyayi yaitu :
    1. Kades Junaidi Sabtu
    2. Rofai Rojudin,S.P
    3. M. Zen Sayuni
    4. Janudin Badaruddin
    5. Drs. H. Achmad Bermawi,M.Pd
    6. Masidin Maulana
    7. M. Soleh Teguh
    8. Subur Makmur bin M. Yakni
    9. H. Madan H. Paridin
    10. Ki. Burhanuddin
    11. Syafaruddin Abd. Sani
    12. Dani Buntak
    13. Sumadi Syarikat
    14. Marzuan Manan
    15. Hasyim MK
    16. Ujang Taudin
    2. Rapat Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam
    Pada hari Rabu, 20 Desember 2006 tepat pukul 20.00 WIB dimulai Rapat Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam bertempat di Griya Keraton jalan Torpedo No. 74 Palembang. Rapat membahas ‘Hubungan kesejarahan pada Kesultanan Palembang Darussalam dengan Zuriyat Srikuto Parung Priyayi yang ada di Desa Gelebak Dalam’. Rapat tersebut dari pihak
    26
    Kesultanan dihadiri oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, R. H. Djohan Hanafiah Ketua Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam lengkap dengan anggotanya dan di pihak Zuriyat Srikuto Parung Priyayi yang ada di Desa Gelebak Dalam dihadiri oleh Enam belas Utusan yang dipimpin oleh Kades Junaidi Sabtu.
    Agenda Rapat Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam:
    1. Kajian hubungan kesejarahan pada Kesultanan Palembang Darussalam dengan Zuriyat Srikuto Parung Priyayi yang ada di Desa Gelebak Dalam.
    2. Kajian Zuriyat Kesultanan Palembang Darussalam terutama dalam kaitan sejarah pendirian komunitas Parung Priyayi pada abad ke-17.
    Setelah Rapat dibuka, R. H. Djohan Hanafiah menjelaskan makna Srikuto Parung Priyayi dan Glebek secara harfiah dan Glebek secara terminologi.
    Apa makna Srikuto Parung Priyayi?
     Srikuto bermakna pagar gaib.
     Parung bermakna Kesatria/Pendekar/Petarung/Jawara (untuk orangnya) dan
     Parung juga bermakna daerah perbukitan dan lembah yang subur.
     Priyayi bermakna kelas bangsawan /golongan ningrat.
    Apa makna ‘Glebek’?
    ‘Glebek’ secara ‘harfiah’ berarti alat atau ‘teknologi untuk meratakan dan melumpurkan tanah yang ditarik kerbau’ sesuai dengan apa yang tertulis dalam makalah yang kami terima. ‘Glebek’ secara terminologi adalah ‘Visi’ atau ‘Impian’ yang bermakna ‘Menjadikan Bumi Srikuto Parung Priyayi sebagai lahan pertanian yang subur dan teratur dengan menggunakan teknologi mutakhir’.
    Selanjutnya R. H. Djohan Hanafiah Ketua Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam menegaskan bahwa berdasarkan hasil kajian sejarah antara Gelebek Dalem-Srikuto Parung Priyayi dengan Kesultanan Palembang Darussalam masih satu tarikan nafas sejarah.
    Pada bagian akhir pembahasan ‘agenda pertama’, beliau menyatakan bahwa inti yang kita bahas pada malam ini telah kita sepakati dan akan kita lanjutkan pada pembahasan agenda kedua.
    27
    Pada pembahasan ‘agenda ke dua’ berbicaralah salah seorang Anggota Majelis Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam (Jendral Polisi) yang menanyakan ‘Guguk Siapa nian Zuriyat Srikuto Parung Priyayi yang ditugaskan oleh Sultan Muhammad Bahauddin?’ Pertanyaan ini adalah pertanyaan ‘kunci/pokok’ yang menentukan apakah Zuriyat Srikuto Parung Priyayi dapat diakui atau ditolak.
    Pembahasan ‘agenda ke dua’ ini berlangsung sangat alot dan kelihatannya sudah mengarah kepada akan ditolaknya Guguk Srikuto Parung Priyayi sebagai Zuriyat pada Kesultanan Palembang Darussalam.
    Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pihak Kesultanan, semua utusan kita memberikan pendapatnya dan yang paling banyak mengemukakan pendapat adalah Muhammad Zen Sayuni.
    Semua pendapat yang disampaikan oleh utusan kita, langsung ‘dicemes’ oleh Ketua Majelis Adat dengan mengatakan bahwa semua pendapat tersebut adalah legenda dan bukan fakta. Beliau menegaskan bahwa yang dimaksud dengan sejarah seperti peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945. Fakta tersebut dapat dijelaskan dengan “5 W + 1 H”.
    Hari sudah menunjukkan pukul 21.30. Pembicaraan terjadi ‘Dead Lock’. Makanan yang disajikan Sultan sudah ‘dingin’. Pada kesempatan itu saya mengajukan pendapat kepada Ketua Majelis Adat apakah boleh pembahasan sejarah ini menggunakan ‘Teori Kenyataan’ bukan fakta sejarah. Semua peserta rapat dengan gembira mempersilahkan saya mengajukan pembahasan Zuriyat Srikuto Parung Priyayi dengan menggunakan ‘Teori Kenyataan’.
    Setelah ‘basa-basi’, saya mengajukan lima fakta kenyataan yang masih hidup dan berkembang di Desa Gelebak Dalam dan mohon tanggapan sebagai berikut:
    1. Nama Srikuto Parung Priyayi. Dari manakah asal nama tersebut?
    2. Di tempat kami masih terdapat komunitas yang pandai dan lancar ‘bebaso’. Pertanyaannya: Dari manakah asal komunitas yang pandai dan lancar ‘bebaso’ ini?
    3. Di tempat kami memanggil orang tua laki-laki dengan sebutan ‘Mang’. Pertanyaannya: Dari manakah asal komunitas yang memanggil orang tua laki-laki dengan sebutan ‘Mang’ tersebut?
    4. Wakde, wakcek, waknga, wakcik, Mencik dan Bicik adalah panggilan kekerabatan di tempat kami. Pertanyaannya: Dari manakah asal komunitas yang panggilan kekerabatannya seperti itu?
    28
    5. Di tempa kami hari bemasak disebut hari ‘Ngocek Bawang’ dan Hari Resepsi Pernikahan disebut hari ‘Munggah’. Pertanyaannya: Dari manakah asal adat ‘Ngocek Bawang’ dan ‘Munggah’ tersebut?
    Ketua Majelis Adat dengan gembira menanggapi lima fakta kenyataan yang masih hidup dan berkembang di Desa Gelebak Dalam sebagai berikut:
    1. Nama Srikuto Parung Priyayi adalah pemberian Sultan Muhammad Bahauddin.
    2. Komunitas yang pandai dan lancar ‘bebaso’ pastilah wong Palembang dan erat hubungannya dengan Kesultanan.
    3. Komunitas yang memanggil orang tua laki-laki dengan sebutan ‘Mang’ pastilah Wong Palembang dengan gelar kebangsawan ‘Kemas’.
    4. Wakde, wakcek, waknga, wakcik, Mencik dan Bicik adalah panggilan kekerabatan Wong Palembang.
    5. ‘Ngocek Bawang’ dan ‘Munggah’ adalah Adat Wong Palembang.
    Setelah menanggapi lima fakta kenyataan yang masih hidup dan berkembang di Desa Gelebak Dalam, Ketua Majelis Adat dengan gembira melaporkan kepada Sultan bahwa pertanyaan ‘kunci/pokok’ yaitu ‘Guguk Siapakah Zuriyat Srikuto Parung Priyayi’ telah ditemukan jawabannya. Gelar kebangsawanan Guguk Srikuto Parung Priyayi adalah ‘Kemas’.
    Rapat diakhiri dan Sultan mepersilahkan seluruh peserta rapat menikmati kudapan yang sudah tersedia.
    3. Pelantikan Majelis Pengurus dan Majelis Penasehat Guguk Srikuto Parung Priyayi oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin
    Informasi bahwa pada tanggal 31 Desember 2006 bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha Majelis Pengurus dan Majelis Penasehat Guguk Srikuto Parung Priyayi akan dilantik oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.
    Pada Acara pelantikan tersebut, Sultan akan hadir bersama Permaisuri lengkap dengan kebesarannya dan dikawal oleh Hulubalang Keraton, Ketua Majelis Adat dan anggotanya serta para Punggawa Keraton. Untuk penyambutan kedatangan Sultan dan rombongan, Kades diminta untuk mengadakan persiapan seperlunya.
    29
    Majelis Penasehat yang akan dilantik:
    1. Masidin Maulana
    2. M. Soleh Teguh
    3. Subur Makmur – M. Yakni
    4. Madan H. Paridin
    5. Ki. Burhanuddin
    6. Syafaruddin Abd. Sani
    7. Dani Buntak
    8. Sumadi Syarikat
    9. Marzuan Manan
    10. Hasyim. MK
    11. Ujang Taudin
    Majelis Pengurus yang akan dilantik:
    1. Drs. H. Achmad Bermawi, M. Pd. Gelar Ki Demang Srikuto Parung Priyayi
    2. Rofai Rojudin, S.P Gelar Ngabehi Rofai
    3. M. Zen Sayuni Gelar Ngabehi M. Zen
    4. Junaidi Sabtu Gelar Ngabehi Junadi
    5. Janudin Badaruddin Gelar Ngabehi Janudin
    Pengangkatan Majelis Pengurus dan Majelis Penasehat Guguk Srikuto Parung Priyayi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Majelis Adat Kesultanan Palembang Darussalam Nomor: 02/SKP-KKPD/XII/2006 tanggal 30 Desember 2006. SK tersebut ditandatangani oleh R. H. Djohan Hanafiah (Ketua Majelis Adat dan Budaya) dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (Sultan Palembang Darussalam).
    Minggu, 31 Desember 2006 sekitar pukul 09.00 pagi, setelah selesai pelaksanaan Sholat Idul Adha, rombongan Sultan datang dan disambut oleh Tokoh-Tokoh Masyarakat yang diiringi oleh ‘Blas Musik Pelita Hati’ dan ‘Terbangan Hadra’. Masjid Nuruddin penuh sesak oleh masyarakat yang kebetulan sedang merayakan Hari Raya Idul Adha dan antusias untuk melihat kehadiran Sultan beserta rombongan.
    Pukul 10.00 tepat, Majelis Pengurus dan Majelis Penasehat Guguk Srikuto Parung Priyayi dilantik oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin sesuai dengan ‘Tata Cara Adat Keraton Kesultanan Palembang Darussalam’.
    Setelah acara pelantikan Ketua Majelis Adat, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dan Ki Demang Srikuto Parung Priyayi memberikan sambutan.
    30
    Acara pelantikan tersebut diakhiri dengan menikmati ‘Adat Sedulang Setudung.’
    Gelebak Dalam, 25 Desember 2019
    Penulis,
    Drs. H. Achmad Bermawi, M. Pd.
    (Ki Demang Srikuto Prung Priyayi)

Leave a comment